Kesalahan Pemasaran ke Gen Z—mereka yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an—bukan lagi sekadar konsumen masa depan, melainkan kekuatan belanja yang dominan saat ini. Mereka adalah digital native sejati, mahir dalam menavigasi dunia maya, dan secara intrinsik skeptis terhadap pemasaran tradisional. Memasuki tahun 2025, populasi Gen Z di Indonesia telah mencapai porsi signifikan, menjadikannya target pasar yang wajib dipahami oleh setiap merek.
Namun, alih-alih meraup keuntungan dari potensi ini, banyak merek justru mengalami apa yang disebut oleh beberapa Chief Marketing Officer (CMO) sebagai “kekacauan pemasaran” (marketing chaos). Berdasarkan pengalaman para pemimpin pemasaran top, upaya merek untuk terhubung dengan Gen Z sering kali berakhir menjadi kampanye yang dianggap cringe, tidak relevan, atau terlalu dipaksakan. Lantas, apa saja kesalahan pemasaran ke Gen Z yang paling sering dilakukan oleh merek? Dan bagaimana strategi usang tersebut gagal menarik hati generasi paling kritis ini?
Merek Gagal Memahami Autentisitas dan Transparansi
Jika ada satu kata yang mendefinisikan hubungan Gen Z dengan merek, kata itu adalah autentisitas. Generasi ini dibombardir oleh konten dan iklan setiap detiknya. Mereka tumbuh dengan kemampuan luar biasa untuk membedakan antara pesan yang tulus dengan upaya korporat yang dibuat-buat.
Para CMO menekankan bahwa kegagalan terbesar adalah ketika merek mencoba “berpura-pura” menjadi Gen Z. Upaya memaksakan penggunaan slang atau jargon khas Gen Z, atau sekadar ikut-ikutan tren TikTok tanpa identitas merek yang jelas, adalah resep pasti untuk disebut cringe dan ditinggalkan. Gen Z tidak mengharapkan kesempurnaan; mereka mengharapkan kejujuran dan transparansi.
Sebuah merek yang meluncurkan kampanye tentang isu sosial yang sedang tren, namun nilai-nilai tersebut tidak tercermin dalam praktik bisnis mereka sehari-hari (seperti etika kerja atau keberlanjutan lingkungan), akan dengan cepat dibongkar oleh komunitas Gen Z. Mereka tidak segan-segan melakukan cancel culture terhadap merek yang dianggap manipulatif atau tidak jujur. Mereka ingin merek yang menunjukkan sisi manusiawi, mengakui kesalahan (jika terjadi keterlambatan pengiriman atau social misstep), dan memiliki nilai-nilai yang sejalan dengan mereka. Bagi 84% konsumen Gen Z, nilai bersama adalah kunci untuk membangun kepercayaan terhadap sebuah merek.
Menggunakan Strategi Pemasaran Gen Y (Milenial) yang Usang
Kesalahan pemasaran ke Gen Z lainnya adalah pemasar yang “gagal move on” dari strategi yang efektif untuk generasi sebelumnya, yaitu Milenial. CMO sering kali melihat merek masih bergantung pada format dan platform yang Gen Z anggap ketinggalan zaman.
Pergeseran terbesar terlihat dalam cara Gen Z mencari informasi. Jika Milenial sering melakukan Googling untuk riset produk, Gen Z—yang memiliki rentang perhatian lebih pendek—justru mengandalkan media sosial, terutama TikTok, sebagai mesin pencari dan penemuan. Mereka lebih memilih video pendek yang menghibur (edutainment) dan konten yang didorong oleh pengguna (User Generated Content/UGC) daripada iklan visual yang dipoles dan mahal.
Brand yang masih terlalu fokus pada iklan banner atau format konten panjang di platform lama, tanpa menguasai narasi cepat dan visual di TikTok atau Instagram Reels, akan kehilangan perhatian mereka dalam hitungan detik. Konten bagi Gen Z haruslah cepat, interaktif, dan memberikan nilai tambah, baik berupa hiburan maupun pengetahuan. Mereka tidak terkesan dengan iklan mewah; mereka lebih terpengaruh oleh ulasan jujur dari sesama pengguna atau micro-influencer yang terasa lebih autentik dan memiliki komunitas yang loyal.
Terlalu Fokus pada Jangka Pendek (Gimmick dan FOMO Palsu)
Strategi yang terlalu mengandalkan Fear of Missing Out (FOMO) atau diskon kilat yang berlebihan dapat menjadi kesalahan pemasaran ke Gen Z yang berisiko merusak reputasi jangka panjang. Meskipun Gen Z merespons elemen kelangkaan dan waktu terbatas, mereka sangat pintar secara digital dan cepat mengenali scarcity palsu atau klaim yang dimanipulasi.
Para pemimpin pemasaran menyarankan bahwa strategi FOMO harus didasarkan pada transparansi yang nyata. Jika merek mengklaim “stok terbatas” padahal stoknya melimpah, kebohongan itu akan terbongkar cepat. Alih-alih merangsang loyalitas, taktik yang terlalu agresif dapat menyebabkan burnout konsumen, membuat mereka merasa tertekan untuk membeli, dan akhirnya menjauh dari merek yang dianggap “menuntut.”
Untuk Gen Z, pengalaman membeli haruslah enjoyable dan terasa organik, bukan hanya sekadar pengejaran diskon. Mereka mencari keseimbangan antara nilai (value) dan harga (price), serta menghargai merek yang fokus pada functional utility dan kualitas produk, alih-alih hanya berfokus pada daya tarik emosional semata.
Mengabaikan Isu Sosial, Etika, dan Keberlanjutan
CMO juga sepakat bahwa mengabaikan isu-isu yang penting bagi Gen Z adalah sebuah kemunduran. Generasi ini adalah konsumen yang didorong oleh nilai (Value-Driven Consumption). Mereka percaya bahwa pembelian mereka adalah sebuah pernyataan.
Mereka mengharapkan merek untuk mengambil sikap terhadap isu-isu seperti tanggung jawab sosial, keadilan iklim, dan etika produksi. Merek tidak harus menjadi aktivis, tetapi mereka harus konsisten. Mengadakan kampanye terkait lingkungan tanpa memiliki praktik bisnis yang berkelanjutan akan dianggap sebagai greenwashing dan merusak kredibilitas.
Dalam memilih influencer, Gen Z juga mengutamakan keselarasan nilai. Mereka ingin melihat merek berkolaborasi dengan influencer yang benar-benar menggunakan dan percaya pada produk tersebut, bukan sekadar dibayar untuk mempromosikan. Kerjasama dengan micro-influencer yang memiliki koneksi mendalam dengan komunitas spesifik sering kali memberikan ROI yang lebih baik dan engagement yang lebih tulus daripada sekadar menggandeng mega-selebriti.
Kesimpulan
Inti dari pandangan CMO adalah bahwa kesalahan pemasaran ke Gen Z bermuara pada satu hal: inauthenticity dan kurangnya pemahaman mendalam tentang ekosistem digital mereka. Merek perlu berhenti mencoba terlihat keren dan mulai menjadi merek yang jujur, transparan, dan bertanggung jawab. Pemasaran harus terasa seperti percakapan yang tulus, bukan kampanye yang dibuat-buat. Dengan mengutamakan konten yang otentik, menggunakan platform secara orisinal, dan menyelaraskan tindakan dengan nilai-nilai yang diyakini, merek dapat membangun loyalitas jangka panjang dengan generasi konsumen yang paling kritis dan berpengaruh ini.
Baca juga:
- Kesalahan Merek Saat Pemasaran ke Gen Z: CMO Mengungkapkannya
- Strategi Flywheel Marketing Keurig Dr. Pepper: Kunci Kinerja Bisnis
- Domino’s Pizza Brand Refresh Pertama dalam Sedekade: Mengenal ‘Cravemark’
Informasi ini dipersembahkan oleh Empire88