Generasi Z, yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, bukan sekadar demografi; mereka adalah kekuatan pasar yang transformatif. Dikenal sebagai digital native sejati, Gen Z (sering disingkat Gen Z) memiliki daya beli yang terus meningkat dan, yang paling penting, pandangan yang sangat kritis terhadap iklan tradisional. Chief Marketing Officer (CMO) dari berbagai merek terkemuka kini berada di garis depan dalam upaya menembus benteng skeptisisme generasi ini. Namun, meskipun investasi dalam platform seperti TikTok dan Instagram Reels terus melonjak, banyak merek tetap melakukan Kesalahan Pemasaran ke Gen Z yang mendasar.
Menurut diskusi para CMO di berbagai forum industri, termasuk Advertising Week New York, persepsi lama tentang Gen Z—seperti kurangnya loyalitas merek atau kebencian terhadap iklan—sebenarnya lebih merupakan mitos. Masalah sebenarnya bukan pada Gen Z, melainkan pada ketidakmampuan merek untuk menyesuaikan pesan dan metode mereka. Gen Z tidak membenci iklan; mereka membenci iklan yang terasa tidak otentik, tidak menghibur, atau terlalu memaksa.
Mengapa Konten Cringe Menjadi Salah Satu Kesalahan Pemasaran ke Gen Z
Salah satu jebakan terbesar yang diakui para CMO adalah upaya merek untuk ‘terlalu keras’ mencoba menjadi keren. Gen Z sangat cepat mendeteksi ketidakotentikan dan upaya hard selling yang terang-terangan. Ketika merek mencoba meniru tren atau bahasa gaul internet tanpa pemahaman yang mendalam, hasilnya seringkali dicap sebagai cringe (memalukan atau menggelikan) dan dijauhi.
Jim Mollica, Presiden dan CMO Bose, menyoroti pergeseran fokus. Ia menyatakan bahwa alih-alih menjadikan iklan berbayar sebagai pendorong utama, budget dan upaya harus dihabiskan untuk konten yang sebenarnya menghibur atau membangkitkan emosi. Iklan harus menjadi alat pendukung, bukan sumber utama. Misalnya, H&R Block sukses dengan konten serial parodi reality TV berjudul “Responsibility Island” yang menghibur Gen Z sambil mengajarkan mereka tentang pajak—sebuah contoh dari konten yang mengutamakan hiburan dan relevansi daripada penjualan langsung.
Kesalahan Pemasaran ke Gen Z di sini adalah mengira platform yang tepat adalah solusi. Berada di TikTok tidaklah cukup; konten di TikTok harus terasa organik dan sesuai dengan vibe platform. Gen Z menggunakan media sosial, seperti TikTok, sebagai mesin pencari baru untuk konten pendek dan otentik. Jika merek hanya mengunggah iklan yang dipoles terlalu sempurna (over-polished), mereka akan diabaikan.
Gagal Menghargai Nilai dan Transparansi
Generasi ini sangat peduli terhadap isu-isu sosial, lingkungan, dan etika. Mereka adalah konsumen yang berorientasi pada nilai (value-driven). Salah satu Kesalahan Pemasaran ke Gen Z yang kritis adalah menampilkan kampanye yang tidak konsisten dengan tindakan nyata merek. Gen Z menuntut transparansi total.
Jika sebuah merek mengkampanyekan keberlanjutan tetapi masih menggunakan praktik manufaktur yang tidak ramah lingkungan, Gen Z akan dengan cepat menyuarakan ketidaksesuaian ini di media sosial, yang berpotensi merugikan reputasi merek dalam semalam. Mereka ingin mendukung merek yang menunjukkan komitmen nyata terhadap keragaman, inklusivitas, dan keadilan sosial—bukan sekadar tokenism atau pernyataan dangkal.
Soyoung Kang, Presiden EOS, menyoroti bagaimana interaksi otentik dapat mengubah pandangan Gen Z. Ia menyebutkan kasus di mana mereknya merespons langsung komentar orang biasa di media sosial, dan reaksi ini jauh lebih viral dan diperkuat daripada iklan berbayar mereka. Hal ini menunjukkan bahwa Gen Z menghargai dialog dan merek yang terasa manusiawi. Mereka ingin brand berinteraksi di dalam komunitas yang mereka minati, bukan hanya beriklan dari atas.
Asumsi Salah tentang Loyalitas dan Riset
Mitos bahwa Gen Z tidak memiliki loyalitas merek juga dibantah oleh para eksekutif pemasaran. Faktanya, Gen Z digambarkan sebagai generasi yang lebih intensif dalam melakukan riset sebelum pembelian. Dengan akses data dan informasi yang tak terbatas, mereka adalah pembeli yang sangat teliti dan pemilih.
CMO berpendapat bahwa yang terlihat seperti “kurangnya loyalitas” sebenarnya adalah “standar yang lebih tinggi.” Mereka akan loyal—bahkan fanatik—terhadap merek yang memenuhi tuntutan mereka akan kualitas, nilai, dan autentisitas. Kesalahan Pemasaran ke Gen Z yang terakhir adalah mengandalkan strategi pemasaran lama yang sukses pada Milenial. Gen Z cenderung menggunakan TikTok untuk mencari tahu tren atau produk, berbeda dengan Milenial yang mungkin lebih mengandalkan Google. Merek yang gagal mengubah strategi mereka dari ‘Strategi Milenial’ menjadi ‘Strategi Gen Z’ akan mendapati upaya mereka menjadi tidak efisien.
Kesimpulannya, memenangkan hati Gen Z membutuhkan pergeseran mendasar dalam pola pikir. Ini bukan tentang iklan yang lebih banyak, tetapi tentang konten yang lebih baik, lebih menghibur, dan lebih tulus. Merek harus menjadi bagian dari komunitas mereka, bukan hanya berteriak dari atas mimbar perusahaan, dan yang terpenting, mereka harus benar-benar menghidupi nilai-nilai yang mereka promosikan.
Baca juga:
- Strategi Flywheel Marketing Keurig Dr. Pepper: Kunci Kinerja Bisnis
- Domino’s Pizza Brand Refresh Pertama dalam Sedekade: Mengenal ‘Cravemark’
- Strategi Molson Coors PepsiCo: Merangkul Budaya Populer dengan Cepat dan Tepat
Informasi ini dipersembahkan oleh naga empire